Ulama besar yang dikenal telah melanglang buana hingga ke Eropa, India dan jazirah Arab, pembela tauhid dan sunnah di masa silam yang berasal dari daerah Maghrib, Syaikh Muhammad Taqiyuddin Al Hilali (wafat: 1407H) pernah menceritakan sebuah kisah beliau dan muridnya Syaikh ‘Abdul Bari Az Zawawi yang berasal dari daerah Muskat, ‘Uman (daerah sebelah timur Saudi Arabia) dan ketika itu Syaikh Al Hilali adalah guru besar di fakultas sastra Arab di India. Ada kisah menarik antara Syaikh Al Hilali dengan saudara dari Syaikh Az Zawawi yang dapat kita tarik ibroh mengenai aturan bergaul dengan wanita non mahrom.
Syaikh Al Hilali berkata, “Syaikh Zawawi memiliki saudara yang tinggal di Karachi dan saudaranya tersebut adalah seorang pedagang besar. Syaikh Zawawi pernah berkata pada Syaikh Al Hilali, “Aku berharap jika engkau ke Karachi, mampirlah ke saudaraku (yang pedagang besar tadi). Engkau tidak perlu singgah di hotel”. Syaikh Al Hilali pun mendapatkan alamat pedagang tersebut. Ia pun mencari-cari dan mendapatkannya. Syaikh Al Hilali melihat bahwa pedagang tadi benar-benar memperhatikan shalatnya, beliau pun gembira. Kemudian beliau dan pedagang tadi naik kendaraan dan pergi ke rumah pedagang tersebut.
Masya Allah … rumah pedagang tersebut benar-benar seperti istana, di sekelilingnya terdapat taman. Lantas Syaikh Al Hilali duduk di kursi di taman itu sambil membaca koran. Kemudian beliau merasa ada sesuatu yang berdiri di samping beliau kala itu. Ternyata seorang pria (yaitu pedagang tadi) dan di sampingnya ada seorang wanita yang tidak berjilbab dengan baju lengan pendek dan rok yang nampak betis. Wanita tersebut kemudian menyodorkan tangannya kepadanya untuk bersalaman. Beliau pun membungkus tangannya dengan kain penutup kepala (qutroh) dan menyodorkan tangannya kepada wanita tersebut dan menyalaminya. Ternyata wanita tersebut marah dan berlalu pergi. Lantas pedagang tadi berkata padanya, “Mengapa engkau sampai mengejek istriku?”
Syaikh pun berkata, “Jika ada penghinaan, maka engkau sebenarnya yang merendahkan istrimu.” Ia membalas, “Kenapa engkau enggan berjabat tangan dengannya, apakah di tangannya ada kudis?” Syaikh menjawab, “Bukan seperti itu. Engkau keliru. Aku berpendapat bahwa seluruh jasad wanita haram disentuh oleh pria yang bukan mahromnya dan itu tidak boleh dilakukan.” Ia pun terus berdebat dengan Syaikh hingga terpatahkan setiap argumennya.
***
Perlu diketahui, Syaikh Al Hilali berpendapat bahwa berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom haram, namun masih dibolehkan jika ada pembatas seperti kain. Namun tidak demikian dengan pendapat ulama lainnya seperti ulama Hambali yang melarang menjabat tangan wanita yang bukan mahrom baik dengan adanya kain atau tidak. ‘Ala kullin, intinya, Syaikh rahimahullah berpendapat haramnya berjabat tangan dengan wanita. Inilah yang diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika membai’at, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah bersalaman dengan seorang wanita pun. Kenapa demikian? Karena itulah wanita, benar-benar dimuliakan dalam ajaran Islam. Wanita dalam Islam adalah ibarat ratu. Adakah yang berani nyelonong-nyelonong dan menjabat tangan seorang ratu –seperti Ratu Elizabeth-? Tentu saja tidak berani. Demikianlah kemuliaan wanita di dalam Islam.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melarang laki-laki menyentuh wanita yang bukan mahromnya sebagaimana dalam sabdanya,
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini sudah menunjukkan kerasnya ancaman perbuatan tersebut, walau hadits tersebut dipermasalahkan keshahihannya oleh ulama lainnya.
Kisah di atas diterjemahkan dari: http://www.alhilali.net/index.php?c=3&p=2&f=44
KSU, Riyadh, KSA, 20 Rabiul Awwal 1433 H
Artikel asli: https://rumaysho.com/2254-aku-tidak-mau-berjabat-tangan-dengannya-bukan-karena-dia-kudisan.html